Jurnalisme Kuning lahir ketika ada pertempuran headline dua media yang berada di kota New York pada tahun 1800an, antara Joseph Pulitzer dan Wiliam Randolph Hearst. Jurnalisme Kuning memiliki ciri khas, yaitu beritanya boombastis, sensasional dan judul dibuat semenarik mungkin dengan tujuan untuk meningkatkan oplah penjualan agar berlipat-lipat. Paham atau aliran Jurnalisme Kuning ikut mewarnai dunia pers di Indonesia terutama setelah digulirnya orde baru. Terjadi eforia kebebasan pers yang kadang berlebihan dan terasa kelewatan. Headline judul dan isi berita yang disajikan terlalu fantastis dan cenderung berlebih-lebihan, seperti judul salah satu tabloid politik yang berbunyi ”Gantung Soeharto”. Berita sensasional kerap menghiasi media cetak seperti tabloid dan majalah.
Era reformasi membawa efek ”Booming Media”, oleh karena itu banyak media yang kurang berkualitas bermunculan lewat beritanya yang bersifat fantastis, hal ini berakibat oleh berkurangnya kredibilitas dari media tersebut. Salah satu contoh tayangan berita yang menganut aliran jurnalisme kuning yaitu berita infotainment. Penayangan berita infotainment didominasi oleh televisi. Wartawan infotainment pada hakekatnya mengorek berita yang kurang penting keberadaannya, seperti kehidupan para artis yang biasanya dicampuri ruang privasinya. Di satu sisi juranlis dituntut pada dilema kerja profesional dalam standarisasi kinerja dunia pers. Narasumber yang kebanyakan berasal dari kalangan artis, sering kali merasakan perlakuan para jurnalis infotainment yang kurang bersahabat, seperti memaksa narasumber untuk memberikan komentar seputar kehidupan pribadinya. Hal ini sangatlah berbeda dari prinsip kerja jurnalis yang tetap menghormati privasi narasumber sebagai sumber dari informasi.
Kegiatan Jurnalisme Kuning di Indonesia sering digunakan dalam penyajian berita infotainment. Berita dalam Infotainment lebih mengarah ke acara hiburan, dimana penyajiannya berupa tayangan atau pemuatan tulisan maupun informasi yang berkaitan dengan kehidupan orang terkenal. Akhir-akhir ini infotainment tumbuh dan mulai menguasai program tayangan televisi di Indonesia. Pada awalnya acara gosip lebih diminati oleh masyarakat Indonesia, namun semakin banyaknya infotainment yang bermunculan di televisi-televisi swasta di Indonesia membuat masyarakat kita terpengaruh untuk menonton program infotainment tersebut dan mulai meninggalkan program gossip yang sebelumnya marak di pertelevisian.Infotainment ini dikaitkan dengan kegiatan jurnalistik, dimana infotainment sangat berkaitan erat dengan investigative reporting yaitu pencarian berita atau suatu peristiwa dengan melakukan sebuah penelusuran secara mendalam. Misalnya saja kasus korupsi pejabat tinggi, kasus kematian Munir, dan juga kehidupan para artis seperti beredarnya gosip bahwa Ariel Peterpan sudah menikah dengan Luna Maya. Kasus-kasus tersebut digali secara mendalam untuk mendapatkan kebenaran. Namun pada kenyataannya seringkali penyajian dalam berita infotainment terdapat suatu penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksud antara lain yakni penghakiman secara dini atau dalam dunia jurnalistik disebut dengan istilah Trial By The Press. Aktor yang diberitakan dalam infotainment tersebut secara dini dihakimi oleh media yang bersangkutan dengan mengeluarkan statement yang belum tentu kebenarannya, sehingga berita tersebut menimbulkan kehebohan. Itulah yang menimbulkan adanya suatu fenomena jurnalisme kuning dimana suatu peristiwa atau berita dibesar-besarkan hanya untuk menarik minat masyarakat yang cenderung ingin tahu kehidupan orang terkenal tidak terkecuali artis ataupun pejabat pemerintahan, padahal berita tersebut belum tentu benar kebenarannya dan kemungkinan besar bisa menyalahi Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
foto : http://japanizze.blog.banjig.net
Jurnalisme kuning tidak hanya terdapat pada program infotainment di televisi, namun juga terdapat di majalah, tabloid, dan koran. Jurnalisme kuning pada koran atau majalah lebih sering mengangkat kasus sekitar seks, konflik, dan kriminal. Berita-berita tersebut sering menjadi tema atau headline dalam media cetak.Oleh karenanya, headline dan berita yang sensasional tersebut menjadi salah satu dari ciri pemberitan jurnalisme kuning. Contoh kasusnya, pemberitaan jebolnya tanggul Situ Gintung. Pemberitaan yang dibuat terlalu dibesar-besarkan, sehingga menggugah keingintahuan masyarakat akan peristiwa tersebut. Media (cetak dan elektronik) seolah-olah menyalahkan salah satu pihak dalam hal ini pemerintah terhadap kasus jebolnya tanggul Situ Gintung. Namun pemberitaan dalam jurnalisme kuning tidak bisa sepenuhnya dipercaya, karena opini dan fakta yang didapat seringkali disatukan, dibaurkan, dikaburkan, bahkan ada yang sampai diputarbalikkan. Sehingga jurnalisme kuning ini diidentikan dengan sebuah penyajian berita yang bersifat sensasional dan meledak-ledak.
Semestinya hal tersebut menjadi pelajaran bagi para jurnalis untuk lebih berkompeten dalam meliput serta menyajikan berita yang berkualitas untuk khalayak. Namun pada kenyataannya masih jauh dari yang diharapkan.
sumber referensi :
Sumadiria, Haris. 2005. Jurnalistik Indonesia, Menulis Berita dan Feature. Bandung: Remaja Rosdakarya
Assegaff, Dja’far H. 1985. JurnalistikMasa Kini, Pengantar Ke Praktek Kewartawanan. Jakarta: Ghalia Indonesia